Home » Articles posted by admin

Author Archives: admin

Start here

Sartono Kartodirdjo, Guru Utama Sejarawan Indonesia

Dini hari Senin, 9 Juli 1888, pecahlah sebuah pemberontakan petani di Cilegon. Ratusan petani pemberontak datang dari desa-desa di sepenjuru Cilegon dengan dikomando oleh para haji. Pemimpin utama pemberontakan ini yakni Haji Wasid, putra seorang tokoh yang terlibat dalam pemberontakan Haji Wakhia pada 1850.

Cilegon kala itu yakni ibu kota Afdeling Anyer. Di sanalah para birokrat-birokrat kolonial yang jadi sasaran utama para pemberontak berdiam. Kediaman para pejabat kolonial itu berkerumun di sekitar alun-alun dan pasar.

Para pemberontak berpakaian serba putih menjelang kota sambil berteriak “Sabil Allah”. Mereka membawa serbaneka senjata yang dapat diperoleh mengepung kota Cilegon dari arah timur dan utara. Seluruh pasukan pemberontak itu sekurang-kurangnya berjumlah 1.700 orang. Tak hanya petani, para guru agama dan pedagang malah ikut bergabung.
Klasifikasi Haji Wasid yakni yang terbesar jumlahnya. Pentolan-pentolan pemberontak lain yang juga disegani yakni Haji Tubagus Ismail yang keturunan bangsawan dan pemimpin Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.
Para pemberontak mewujudkan Pasar Jombang Wetan sebagai markas besar mereka. Setelah membagi pasukan, para pemberontak itu berturut-ikut menyerang rumah-rumah juru tulis pembantu residen, ajun kolektor, jaksa, wedana, patih, pembantu residen, dan kepala gudang garam. Beberapa juga menyerang penjara dan membebaskan para tahanan di sana.

Setelah menguasai Cilegon, Haji Wasid sempat mengirim pasukannya untuk menyerang Serang yang kala itu yakni ibu kota karesidenan. Usaha ini gagal sebab pemerintah kolonial menerjunkan pasukan militer untuk menumpasnya. Pada 30 Juli sebuah ekspedisi militer sukses menumpas tenaga terakhir pemberontak. Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail tewas.

Pemberontakan ini menewaskan 17 orang, termasuk pejabat Belanda ataupun pribumi beserta keluarga dan bawahannya di Cilegon. Sementara itu, di pihak pemberontak sekira 30 orang tewas selama penumpasan. Masyarakat Cilegon sekarang mengenangnya dengan sebutan Perang Wasid.

Di mata kolonialis, Perang Wasid hanyalah satu dari serangkaian pemberontakan yang meletus di Banten sepanjang abad ke-19. Sebelumnya sudah terjadi Pemberontakan Cikandi Udik pada 1845, Pemberontakan Wakhia pada 1850, dan Pemberontakan Kolelet pada 1866. Maka itu dalam historiografi kolonial ia hanya disebut saja sepintas lalu seakan tanpa signifikansi apapun dalam sejarah Hindia Belanda. Dan peristiwa itu malah terlupakan semacam itu saja.

Sampai seorang mahasiswa doktoral Universitas Amsterdam memulai risetnya untuk mematahkan pandangan minor itu pada 1964. Tapi, sesungguhnya si mahasiswa doktoral tidak ada maksud untuk mengulik pemberontakan petani di Cilegon. Minatnya yang semula yakni membahas nasionalisme Budi Utomo, organisasi pribumi modern pertama di era kolonial.

Atensi permulaan itu berbelok manakala ia memandang bundelan arsip berhubungan pemberontakan petani Cilegon 1888 di Algemeene Rijksarchief (Arsip Umum Kerajaan). Bundelan tersebut berisi proces verbaal dan serbaneka dokumen penting lain soal pemberontakan itu. Si mahasiswa jadi kepincut mempelajarinya, walaupun bundelan arsip tersebut belum boleh dipinjam sebab sedang diinventarisasi.

“Tapi kebetulan pegawai arsip kenalan bagus aku, jadi aku boleh membaca arsip itu. Arsip itu sudah komplit semua,” kata Sartono Kartodirdjo, mahasiswa doktoral itu, sebagaimana dikutip majalah Historia (nomor 24/tahun II/2015).

Jadilah sejak itu haluan riset Sartono berubah total. Tak sekadar mengurai peristwa Perang Wasid dari mula hingga surutnya, ia juga melacak musababnya hingga jauh ke belakang. Sartono membuktikan bahwa pemberontakan 1888 itu yakni buah dari konfontasi panjang antara elite kolonial dan rakyat umum.

“Momen itu yakni manisfestasi sikap protes atau penolakan kepada semua jenis modernisasi, cara birokrasi, fiskal, pengajaran, kesehatan, dan lain sebagainya. Sudah berkali-kali rakyat menjalankan protes kepada penarikan pajak, antara lain pajak kepala dan pajak pasar. Penetrasi dampak pangreh praja ‘gupermen’ Hindia Belanda mengancam kedudukan para ulama yang penuh kekuasaan karismatis itu,” terang Sartono dalam bunga rampai Sejak Indische hingga Indonesia (2005: 34).

Disertasi itu mengundang kebanggaan dari para pembimbingnya di Universitas Amsterdam. Berkat disertasi itu ia meraih gelar doktor dengan predikat cum laude. Sebelum tahun berganti disertasi tersebut lalu diterbitkan penerbit Belanda Martinus Nijhoff di bawah judul The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel.